Kamis, 04 Agustus 2011

Aku Benci Pekerjaanku

cerpen baru (akhirnya) setelah sekian lama mati suri blog saya
*nyengirlebar*
slamat membaca


aku benci pekerjaanku. berjam jam menunggu di jok belakang mobil Avanza seorang lelaki bernama Yudi, yang mungkin berhak mendapat gelar lelaki tersial hari ini jika saja dia mengetahui nasibnya beberapa jam lagi. Baju baju kotor, sepatu dan beberapa kaos kaki bekas pakai, menemani dudukku yang kesempitan disana. Tubuhku besar, dan itulah salah satu alasanku membenci pekerjaan ini. Mengapa bos besar seakan tak bosan2 nya memilihku untuk menunggu di jok belakang dari sekian banyak karyawan karyawanny yang tidak punya masalah berat badan?

akhirnya dia datang. pria tersial hari ini, beri tepuk tangan untuk yudi! kataku dalam hati, meniru gaya pembawa acara kuis memanggil kontestannya. yudi mengenakan pakaian kerjanya, tampak nyaman memasuki mobil, menyalakan mesin dan memulai perjalanan. saat telunjuknya menuju ke tombol on di tape deck, aku tahu pasti dia akan memasang kaset red hot chili peppers album californication, kaset favoritnya. keyakinanku terbukti benar 5 detik kemudian. well, i did my research perfectly, tawaku dalam hati.

mobil memasuki jalan tol jagorawi. haruskah ku melakukan tugasku sekarang? kuputuskan utk memberinya waktu beberapa menit lagi, biarkan ia menikmati lagu favoritnya, easily, utk terakhir kalinya. sempat ku berharap telepon genggamnya akan berdering, mengharap pacarnya ber ide utk menghubunginya dan berbincang sejenak sebelum.. yah.. entah mengapa aku menyukai pria ini, dia terlihat baik sebulan terakhir aku memata matainya. kadang konsep umur memang kejam, si jahat berumur panjang sementara si baik pendek umur. usia itu bagaikan jatuh cinta, tidak bisa diatur, cuma bisa dijalankan dan, kalau kau termasuk kedalam golongan manusia manusia optimis, dinikmati.

kuintip jam tanganku, sudah saatnya. aku minta maaf Yudi, aku tak bangga dengan ini, tapi ini pekerjaanku. aku beranjak dari persembunyianku. tidak banyak gerakan yg aku lakukan, hanya membenarkan posisi badanku, memastikan aku dapat terlihat dari spion depan. selanjutnya hanya tinggal menuggu, menunggunya menoleh kearah spion, mengakhiri nyawa. tak makan waktu lama hingga ia melirik spionnya, melihat wujudku, terperangah, panik menginjak rem, setir terbanting, mengarah ke tempat yang tidak seharusnya, ban berdecit, dan mobil hitam ini terguling, terguling, dan terguling, hingga akhirnya berhenti, menewaskan pengemudinya.

aku keluar lewat pintu belakang, kulihat wajah yudi utk terakhir kalinya. sampai bertemu di atas sana Yud, semoga kau masuk surga. kutinggalkan tempat kejadian perkara, menuju kantor, memberikan laporan pekerjaanku. beginilah kerja malaikat pencabut nyawa, semoga dapat libur seminggu.    

  

Senin, 06 September 2010

Selamat Membaca: Telepon

Ada ide nyangkut di kepala, 
langsung tulis deh. 
Smoga menarik hasilnya 

Telepon

"Tuut.. Tuut.. Tuut.."

Untuk kesekian kalinya aku menekan nomor teleponmu, dan untuk kesekian kalinya juga nada tunggu ini tidak mengantarkanku kepada suaramu. Gerah aku mendengar operator jaringan yang terus mengulang informasi yang sudah pasti aku tahu. Dimana kamu Baskoro? Jangan siksa aku seperti ini. Sudah tidak tahan ku ingin membagi berita ini padamu. Kaulah yang berhak menjadi pelopor penerima berita ini. Aku tak tahan ingin berbagi. Terlalu berat aku tanggung berita ini sendiri. Aku tak kuat

Mengapa berita ini begitu buruk? Aku bukan gadis yang tegar. Menghadapi masalah-masalah sepele saja aku tak becus bersikap, apalagi ini. Sebuah berita duka yang begitu menyiksa. Aku memang memiliki sejarah buruk dalam menghadapi berita duka. Enam tahun yang lalu saat Ayah menghembuskan nafas terakhirnya, aku menangis meronta-ronta. Aku benci perpisahan. Apa yang mesti kulakukan saat aku rindu bila jarak aku dan orang yang kurindukan terlalu jauh bahkan tak tersentuh jaringan telepon? Berdoa saja tidak cukup. Aku perlu komunikasi dua arah. Aku perlu suara ayah. Butuh waktu lebih dari lima tahun untuk membiasakan diri tanpa ayah. Baru saja luka hatiku sembuh, dan tanpa ampun berita ini menyayat kembali hatiku.

Aku tak mau berpisah dengan ibu. Aku terlalu cinta padanya sampai-sampai pergi ke luar kota pun tak mau aku lebih dari seminggu. Biarlah bila manja ini terpelihara, karna aku mau terus bersamanya. Semua anak normal pasti mengerti perasaan ini. Cinta kepada ibu takkan ada duanya. Ikatan tali pusar mengikat terlalu kencang, tetap mengikat satu sama lain walau gunting sang bidan telah memutuskannya. Dan sekarang, lagi-lagi, Tuhan memaksakan kehendak. Dan tak ada lagi yang dapat kulakukan selain menangis, dan meneleponmu.

Ayo Baskoro, angkat teleponnya. Aku tak mau menangis sendiri. Aku mesti berbagi. Berbagi berita duka ini kepadamu. Aku mencintaimu, dan aku tak mau membagi berita ini kepada orang lain sebelum kamu. Aku tahu ini jam dua belas malam dan kamu pasti tengah lelap tertidur, tapi tolong tangkap bunyi telepon ini dengan telingamu dan terbangunlah, angkat teleponmu. 

"Tuut.. Tuut.. Tuut.."

Operator wanita ini kembali bicara, dan aku mulai putus asa. Kulihat ibu tengah terbaring di tempat tidurnya. Raut wajahnya begitu damai, tenang, bagai sedang bermimpi indah. Sejenak aku berpikir, apakah dengan menggoncangkan badannya aku bisa membangunkannya? Atau mengecup keningnya lembut akan membuka matanya perlahan-lahan? Semakin banyak ide bermunculan di kepala, semakin terbenam wajahku pada kedua telapak tangan ini. Aku terisak, air mata ini seolah tak akan berhenti tumpah sampai pagi menjelang, atau mungkin siang. Aku merana.

Aku merebahkan tubuhku, berbaring di atas tempat tidur ibu. Aku ingin menemaninya. Tidur sendirian di kasur sebesar ini pasti membuatnya kesepian. Dia pasti rindu ayah. Aku juga. Ini memang sudah sangat terlambat, tapi ijinkan aku menemanimu ibu. Seharusnya aku tidak sibuk dengan sedihku. Seharusnya aku memperhatikanmu. Seharusnya aku sadar bahwa bukan hanya aku yang tak bisa berhenti menangis sejak enam tahun lalu, tapi juga ibu. Maafkan aku ibu. Waktu adalah benda yang kejam, tidak mengenal kata kompromi. Bila waktu punya nurani, ia pasti akan memberikanku kesempatan untuk memperbaiki semuanya. Tapi waktu bagaikan palu hakim yang telah ditalukan. Keputusan tidak bisa diganggu gugat. Aku membentangkan tanganku, memeluk ibu erat. 

"Tuut.. Tuut.. Tuut.."

Mungkin takdir tidak mengijinkan Baskoro mengetahui berita ini sekarang. Mungkin takdir ingin dia tahu esok hari nanti. Mungkin takdir ingin aku menghadapi ini sendiri. Mungkin takdir ingin ibu tetap bersamaku sampai setidaknya esok pagi. Mungkin seribu mungkin, tapi satu hal yang pasti, ibu bukan milikku lagi. Kutekan nomormu sekali lagi Baskoro, semoga kau terbangun. Jika mesti operator yang kembali menjawabku, ya sudahlah. Maaf aku mengganggu mimpimu.

"Tuut.. Tuut.. Tuut.."

"Halo?"

Jantungku berdebar kencang. Akhirnya aku bisa mendengar suaramu. Akhirnya aku bisa berbagi. Begitu inginnya aku mendengar suaramu sampai-sampai malah jadi kelu lidahku. Aku terduduk lemas, mencoba mengatur nafas. Hati ini begitu siap bicara, namun bibir berkeras mengatup dinding mulutku. butuh beberapa detik untuk bisa memaksanya terbuka dan berkata,

"Baskoro... Meninggal.."

Bergidik aku mendengar kata meninggal. Demi Tuhan aku tidak siap mengatakan ini. Tak akan pernah siap.

"Kenapa Rani?  Tolong bicara lebih jelas lagi sayang, aku sulit mendengarmu"

"Meninggal Baskoro,, Meninggal"

Aku meraung sejadi-jadinya. Tuhan, jangan pisahkan aku dari ibu sekarang. Jangan paksa aku meneruskan kalimatku ini. Aku tak kuat ya Tuhan

"Apa aku tidak salah dengar sayang? Siapa yang meninggal? Masya Allah, jangan bilang ini tentang ibu"

Aku dapat mendengar Baskoro mulai terisak. Tak tega aku membagi berita ini padanya. Cintanya pada ibuku sedalam cintaku pada beliau. Tapi peluru kalimat telah terlempar, tak dapat kukembalikan lagi. Selamat tinggal ibu, begitu kalimat ini terucap, itu akan menjadi tanda kesiapanku berpisah denganmu. Kupandangi ibuku yang terbaring damai. Tubuhnya bergerak pelan, berbalik badan mencari posisi tidur yang lebih nyaman. Ia mendengkur kecil, dan aku tersenyum, siap berkata,

"Bukan ibu sayang, tapi aku. Aku meninggal. Jaga ibu ya.."

"Tuut,, Tuut,, Tuut,,"




Minggu, 05 September 2010

Kebahagiaan dan Takarannya

saya benci melihat sinetron yang senang sekali asal-asalan memvisualisasikan orang miskin. Mereka seenak jidat menstereotip orang miskin ke dalam sebuah genre yang salah. Coba inget2 deh, setiap kita nonton sinetron, plot cerita orang miskin pasti sama. Muka sedih, sering nangis, rajin solat (yang ini sih bagus), berdoa pasrah, hidup tersiksa, sabar berlebihan, akhirnya kaya, bahagia, tamat. Apakah plot seperti ini menjual? Tentu banget. entah kenapa orang-orang Indo gemar sekali nonton cerita yang kayak gini. Semua orang ga mau dibilang lebay, tapi secara gak sadar seleranya lebay (kebanyakan yang gak mau ngaku selera nya lebay gak mau nonton sinetron, kyk saya. hehe). Nah, okelah kalau menjual, tapi apakah penggambaran seperti ini atas orang miskin adalah penggambaran yang tepat?

Coba kalau saya mendeskripsikan sebuah plot yang terjadi setiap hari di kota Jakarta. Jam 5 sore, jalanan di daerah Jakarta Selatan. Macet yang seolah gak ada ujungnya, diperparah dengan hujan deras ala Jakarta. Terlihat kendaraan-kendaraan bermotor berbaris rapi, pasrah akan keadaan yang harus mereka hadapi setiap hari pada jam yang sama. Mobil-mobil mewah pun tidak dapat melakukan apa-apa, pengendara dan penumpangnya hanya mampu pasrah menikmati AC yang dingin dan lagu-lagu barat dari CD player nya. Di luar terlihat anak-anak jalanan masih berusaha mengamen dan minta-minta, banyak anak-anak dibawah umur yang seharusnya sudah mengenyam pendidikan di TK tapi terpaksa bergabung dengan mereka, kehujanan karna kepentok biaya. Siapa yang seharusnya bahagia?

Para pengendara mobil mewah lah yang semestinya lebih bahagia. Memang macet belum ada obatnya, tapi mereka tetap bisa duduk nyaman tanpa kehujanan. Plus denger lagu lagi. Sementara anak-anak diluar sana masih cari uang untuk makan sambil ujan-ujanan, kedinginan, dan kena pilek malemnya nanti. Tapi coba kita lihat plot yang sering terjadi di situasi ini. Sang pengendara mobil menggerutu sambil melempar sumpah serapah ke supir Metromini yang tak tahu diri, mengumpat karena lelah menginjak gas dan rem, menyesali kenapa mereka mesti keluar jam segini, hingga menekan klakson seolah moral sudah meninggali jasadnya. Sementara anak-anak diluar sana kegirangan mandi hujan dan menikmati pertemanan yang mereka miliki. Mana yang lebih bahagia?

Mungkin banyak dari kalian yang sedang membaca ini bingung mengapa saya tidak memperhalus kata 'orang miskin', menggantinya dengan 'orang kurang mampu'. Saya punya satu alasan. Kata miskin berbeda dengan kata 'penipu', 'maling', dan 'rampok'. Tidak ada konotasi negatif dari kata 'miskin'. Miskin hanyalah ketidakberdayaan materi, dan sebenarnya apa sih materi? Materi tidak membuat seseorang menjadi lebih baik di mata Tuhan, materi adalah kesempatan yang diberikan Tuhan untuk manusia agar dapat berbuat baik, itu saja.

Kebahagiaan masing-masing orang memiliki takaran yang berbeda-beda. Seseorang belum tentu tidak bahagia hanya karena miskin, begitu pula sebaliknya. Seorang anak di panti asuhan hampir membuat saya menangis karena dia menjawab pertanyaan tentang duka apa saja yang dia rasakan selama berada di panti dengan jawaban,

"Duka nya itu kalau ada teman yang sudah lulus sekolah terus harus pulang. Sedih setiap ada perpisahan, nanti kangen tapi gak bisa ketemu lagi"

Makan seadanya, pendidikan seadanya, dan teknologi seadanya tidak membuat dia berduka. Perpisahan lah yang membuat dia berduka. Bandingkan dengan kita yang mengumpat saat macet padahal terlindung dari hujan, marah ketika mati lampu padahal kita tahu listrik pasti akan menyala kembali, dan kesal saat BBM lemot padahal tanpa BBM pun kita masih bisa berkomunikasi.

Jadi, masih percaya dengan miskin ala sinetron? :)

Jumat, 03 September 2010

Selamat Membaca: Matahari

Saya menulis Matahari kira kira empat tahun yang lalu. Tulisan ini hampir diterbitkan oleh Gramedia bersama

kumpulan kumpulan cerpen FIB UI, namun kalah bersaing dengan cerpen horor saya berjudul Saeramanan

(akan saya post lain waktu). Isu isu yang diangkat di cerpen ini pun adalah isu isu yang lagi hot hot nya empat

taun yang lalu. Jadi buat yang ngarep baca soal Keong Racun ya ga bakal ketemu di sini sih. hehe. Selamat

membaca!


Matahari



“Cu du cu du cu, cu budup budup, cu du cu du cu!”

Intro lagu Silverchair, If You Keep Losing Sleep yang kupasang sebagai alarm handphone ku merobek kesunyian Sabtu pagi ini dalam sekejap. Waktu telah menunjukkan pukul lima pagi. Aku terbangun, bukan hanya karena bunyi alarm yang memekakkan telinga, namun juga karena ketegangan yang begitu memuncak. Ya, hari ini akan menjadi sebuah hari besar. Hari dimana aku akan melayang tinggi menembus langit, atau tenggelam rata ke dalam tanah dan tak kembali lagi ke permukaan. Semua akan ditentukan dalam hitungan menit.

Sudah hampir sembilan bulan kuhabiskan untuk mengenalnya, mengenalnya, dan lebih mengenalnya. Bukan karena aku begitu pengecut dan tidak dapat mengungkapkan perasaanku padanya, bukan juga karena aku tidak yakin. Aku hanya merasa dia adalah gadis yang tepat, dan haram hukumnya bagiku untuk mengambil langkah yang salah. Gadis ini harus kudapatkan. Jika selama ini aku tak pernah bisa menjawab pertanyaan teman-temanku tentang mengapa aku memilih seumur hidup melajang, maka aku telah mendapatkan jawabannya sekarang. Untuk menemukan gadis seperti dia.

Dia bernama Matahari. Dan dengan atau tanpa ia sadari, dia memang seperti matahari. Hatiku seolah menjadi gelap bila satu hari terlewati tanpa melihat senyumnya, dan kegelapan pun tampak semakin menyala bila aku tak mendengar suaranya. Dia begitu cantik, begitu bersinar, begitu memikat. Kepintarannya, gagasan-gagasan gilanya, candanya, tawanya, bahkan dengkurannya sekalipun dapat membuatku betah menghabiskan berjam-jam di telepon. Aku jatuh cinta padanya, setiap hari selama sembilan bulan terakhir ini. Dan aku telah membulatkan tekad, bahwa hari ini akan menjadi hari dimana aku akan menyatakan perasaanku padanya.

Setelah menghabiskan sekitar sepuluh menit termenung di kasur, aku bergegas menuju kamar mandi. Setengah jam kemudian, aku sudah duduk di meja makan bersama Ibu, dua adikku, dan ayah, yang begitu terlihat terburu-buru menghabiskan rotinya. Maklum, akhir-akhir ini pekerjaannya terlihat begitu menumpuk sehingga ia harus selalu pergi lebih pagi dari sebagian besar orang rumah yang juga bermobilitas tinggi, dan pulang larut.

“Apa kabar Matahari?” Ia bertanya.

Aku hanya menjawab dengan sebuah anggukan kecil.

“Wah, jadi hari ini ya penentuannya? Well, you go get that girl my boy!” Dia menyorakiku, dan aku membalasnya dengan sebuah seringai lebar.

Ayahku memang pribadi yang amat menyenangkan. Dia teman curhatku yang paling sejati. Bisa dibilang, akibat semua ceritaku tentang Matahari padanya, dia telah mengenal Matahari sebaik aku mengenal gadis itu sendiri. Ayah beranjak dari kursinya, mengambil tasnya sambil berjalan ke arah garasi, dan berbalik, memberikan sebuah senyuman penuh arti sambil berkata,

“apapun jawabannya, ayah ingin jadi orang yang pertama tahu,ok?”

Kini waktu telah menunjukkan pukul delapan lewat lima belas menit. Seharusnya dia baru saja keluar kelas sekarang. Dengan tegang aku menunggu di salah satu meja Kantin Kerucut sambil menghitung mundur. Sepuluh... sembilan... delapan.... tujuh... enam... lima... empat... tiga... du... dia datang.

Dia mengenakan kaos oblong berwarna putih dan celana kargo berwarna hijau. Percaya padaku, bahkan bidadari dari kahyangan pun tidak dapat menyaingi kecantikan manusia yang satu ini.

“Halo macho, sudah puas melamun?” dia menggodaku.

Aku hanya memlemparkan seringai andalanku padanya sambil berkata,

“mau kemana kamu hari ini, Mata? I’ll be your driver for today, and you can go wherever you want.”

Ia membalas seringaiku dengan sebuah seringai yang tak kalah menyeramkan, lalu tersenyum dan menjawab,

“Siap!”

Akhirnya satu hari ini kami habiskan untuk bersenang-senang di Dunia Fantasi. Ia memberikan alasan yang sangat menarik tentang mengapa ia memilih Dufan sebagai tempat persinggahan kami hari ini.

“Kamu tahu kan akhir-akhir ini sering banget terdengar isu-isu tentang kasus Dufan, yang makan korban itu loh. Katanya, Tornado, wahana Dufan yang paling baru, makan korban. Dua puluh tiga orang meninggal gara-gara mesinnya Tornado rusak. Gila banget ya? Tapi kamu percaya ga sih sama yang namanya takdir? Aku percaya banget. Mau kita pasang fasilitas secanggih dan seaman Disneyland sekalipun, kalau memang takdirnya Tornado harus makan korban, ya pasti dia akan makan korban. Kita buktiin yuk. Kita ke Dufan sekarang, terus kita naik Tornado. Aku percaya kejadian seperti itu ga akan kejadian sampai dua kali berturut-turut. Kamu mau temenin aku ke Dufan kan?”

Ajaib benar memang orang ini.

Kami sudah tidak banyak bicara di dalam mobil. Dia terlihat kelelahan sekali, tapi lucunya sebuah senyum simpul masih tersungging di wajahnya. Dia terlihat senang sekali, dan aku pun senang melihatnya. Jantungku kembali berdetak keras, inilah saatnya. Saat tertepat untuk mengungkapkan semuanya. Aku menghela napas panjang, berdoa dalam hati dan melontarkan kalimat yang sudah sangat ingin kulontarkan sejak sembilan bulan yang lalu.

“Mata, aku sayang sama kamu”

Akhirnya kalimat itu pun terlontar juga, dan aku menunggu reaksi darinya. Gadis itu tertegun, menatapku tersenyum dan membalas,

“aku juga sayang sama kamu, sayang banget.”

Jantungku berdetak semakin keras, dan jemari tanganku basah oleh keringat. Haruskah kulanjutkan pernyataanku ini dengan sebuah kalimat penutup? Atau kuakhiri sampai di sini saja dan mencoba lagi di lain waktu? Aku sudah tak mampu menahan lagi, sehingga akhirnya kulontarkan kalimat

“Aku mau, dan siap jadi pacarmu”

Gadis itu kembali tertegun. Senyumnya perlahan hilang, digantikan oleh sebuah raut wajah cemas. Ia menggigiti kukunya, tanda bahwa ia sedang merasa amat tidak nyaman saat ini. Matanya memandangku penuh arti, seolah berusaha menghipnotisku untuk menarik kembali kata-kataku tadi. Namun semua sudah terlambat. Aku tak mungkin mundur lagi dan aku perlu untuk mendengar jawaban darinya.

Menit demi menit berlalu. Ia masih terdiam, dan aku masih belum berani membuka mulut sebelum mendengar jawaban darinya. Ia menghela napas, untuk yang kesekian kalinya, dan menjawab,

“maaf, aku tak bisa.”

Hatiku hancur seketika. Harapan bahwa gadis ini hanya akan menjadi milikku seorang mulai detik ini pupus sudah. Seolah delapan bulan yang kuhabiskan bersamanya menjadi sia-sia karena ternyata dia pun hanya menganggapmu tak lebih dari seorang teman. Namun, apapun yang terjadi, aku telah berjanji pada diriku sendiri bahwa aku akan bersikap tegar dihadapannya.

“Boleh aku bertanya? Kenapa tidak?” aku bertanya.

Berusaha menemukan alasan yang dapat kuterima dari gadis yang super logis ini. Sementara kakiku sudah terkulai lemas dan hati kecilku menutup telinganya rapat-rapat agar tidak perlu mendengar alasan yang hanya akan menoreh luka lebih lebar.

“Kita sangat cocok. Jujur, aku belum pernah merasa nyaman dengan seorang lelaki seperti ketika aku bersamamu. Kau begitu baik, begitu jujur, begitu simple. Dan aku sayang saya kamu, sayang sekali. Tapi untukku, cinta tidak hanya membutuhkan kecocokan dan rasa sayang. Cinta juga membutuhkan ketertarikan. Sesuatu yang bisa membuatmu selalu penasaran, selalu mencoba untuk ingin tahu, selalu mencari, dan mengulang semuanya kembali setiap kau bertemu dengannya. Aku mungkin memiliki sedikit ketertarikan padamu, dan kuyakin bisa berkembang seiring sengan jalannya waktu. Namun aku tak ingin waktu melakukan itu untukku, karena aku sudah menemukan ketertarikanku....padanya”

Mendengar semuanya, aku menjadi mengerti. Sangat mengerti. Ternyata ketika aku begitu sibuk mengaguminya, ia pun sedang melakukan hal yang sama. Tapi bukan padaku. Pada seseorang yang aku sama sekali tak tahu. Dan aku benar-benar ingin tahu siapa pria itu. Sesempurna apa dia sampai dapat membuat gadis ini tergila-gila padanya. Ingin rasanya aku bertanya padanya, namun hatiku telah terlanjur terluka. Aku tak mungkin mencecarnya dengan berbagai pertanyaan, itu tidak adil untuknya. Aku yakin dia pun sulit untuk mengatakan semua ini padaku, dan aku sangat menghargai kejujurannya.

“Kita masih berteman kan?” aku bertanya.

“Tentu saja. Aku tak mau jauh-jauh denganmu. Ingat, aku sayang kamu. Dan, mengenai pria itu, aku belum siap untuk mengatakannya padamu. Maaf ya.”

Tampaknya dia menyadari apa yang hendak benakku tanyakan padanya sehingga dia menjawab pertanyaan yang belum sempat kulontarkan tersebut.

“ya, ga papa” aku menjawab, berusaha untuk tersenyum.

kami telah sampai. Ia membuka pintu, mengecup pipiku, dan keluar dari mobil. Ingin rasanya aku menangis saat itu juga, tapi harga diriku yang terlalu tinggi tak mengenal air mata. Aku mengendarai mobilku, berniat untuk pulang. Namun, baru sekitar lima pulur meter aku bergerak dari depan rumah Matahari, sebuah mobil datang menghampiri rumah tersebut. Firasatku seolah berbisik, memintaku untuk menghentikan mobil dan menunggu. Aku yakin, dialah si pria yang ingin kutelan bulat-bulat sejak lima belas menit yang lalu. Matahari menghampiri mobil tersebut. Pria itu membuka pintu, keluar dari mobilnya. Matahari memeluknya, dan aku tak percaya dengan apa yang sedang aku lihat.

Wajah itu, tangan itu, tubuh itu begitu kukenal. Tak ada sebuah kata sifat pun yang dapat mendeskripsikan apa yang sedang kurasakan saat ini. Aku tak tahu lagi apa yang harus kulakukan. Aku mengumpulkan keberanian untuk mengambil handphoneku, menekan tombol speed dial, dan menunggu. Dari kejauhan terlihat pria itu mengangkat teleponnya. Aku berkata,

“Selamat ya ayah, aku orang yang pertama tahu.”

Salam Kenal

Salam kenal semuanya. Nama saya Mohammed Kamga, dan saya akan (mencoba) memulai  

aktifitas baru saya sebagai blogger mulai hari ini. Terlalu banyak ide-ide yang kelamaan 

ngendap di kepala. Terlalu banyak cerpen yang tidak sempat tertulis. Terlalu banyak kritik 

yang tak tersampaikan. Terlalu banyak pengalaman yang tidak terbagi. Dan yang paling parah, 

terlalu banyak waktu yang tdk tergunakan untuk menulis, padahal ini adalah passion kedua 

saya setelah musik. Jadi blog ini adalah jawaban saya atas penyakit nomer satu yang 

menjangkiti umat manusia bernama Kamga ini: malas. 

Mengutip spoken Justin Timberlake di lagu Senorita (dgn sedikit editan ilegal) 

"Lazyness, goodnite. Blogging, goodmorning"