Jumat, 03 September 2010

Selamat Membaca: Matahari

Saya menulis Matahari kira kira empat tahun yang lalu. Tulisan ini hampir diterbitkan oleh Gramedia bersama

kumpulan kumpulan cerpen FIB UI, namun kalah bersaing dengan cerpen horor saya berjudul Saeramanan

(akan saya post lain waktu). Isu isu yang diangkat di cerpen ini pun adalah isu isu yang lagi hot hot nya empat

taun yang lalu. Jadi buat yang ngarep baca soal Keong Racun ya ga bakal ketemu di sini sih. hehe. Selamat

membaca!


Matahari



“Cu du cu du cu, cu budup budup, cu du cu du cu!”

Intro lagu Silverchair, If You Keep Losing Sleep yang kupasang sebagai alarm handphone ku merobek kesunyian Sabtu pagi ini dalam sekejap. Waktu telah menunjukkan pukul lima pagi. Aku terbangun, bukan hanya karena bunyi alarm yang memekakkan telinga, namun juga karena ketegangan yang begitu memuncak. Ya, hari ini akan menjadi sebuah hari besar. Hari dimana aku akan melayang tinggi menembus langit, atau tenggelam rata ke dalam tanah dan tak kembali lagi ke permukaan. Semua akan ditentukan dalam hitungan menit.

Sudah hampir sembilan bulan kuhabiskan untuk mengenalnya, mengenalnya, dan lebih mengenalnya. Bukan karena aku begitu pengecut dan tidak dapat mengungkapkan perasaanku padanya, bukan juga karena aku tidak yakin. Aku hanya merasa dia adalah gadis yang tepat, dan haram hukumnya bagiku untuk mengambil langkah yang salah. Gadis ini harus kudapatkan. Jika selama ini aku tak pernah bisa menjawab pertanyaan teman-temanku tentang mengapa aku memilih seumur hidup melajang, maka aku telah mendapatkan jawabannya sekarang. Untuk menemukan gadis seperti dia.

Dia bernama Matahari. Dan dengan atau tanpa ia sadari, dia memang seperti matahari. Hatiku seolah menjadi gelap bila satu hari terlewati tanpa melihat senyumnya, dan kegelapan pun tampak semakin menyala bila aku tak mendengar suaranya. Dia begitu cantik, begitu bersinar, begitu memikat. Kepintarannya, gagasan-gagasan gilanya, candanya, tawanya, bahkan dengkurannya sekalipun dapat membuatku betah menghabiskan berjam-jam di telepon. Aku jatuh cinta padanya, setiap hari selama sembilan bulan terakhir ini. Dan aku telah membulatkan tekad, bahwa hari ini akan menjadi hari dimana aku akan menyatakan perasaanku padanya.

Setelah menghabiskan sekitar sepuluh menit termenung di kasur, aku bergegas menuju kamar mandi. Setengah jam kemudian, aku sudah duduk di meja makan bersama Ibu, dua adikku, dan ayah, yang begitu terlihat terburu-buru menghabiskan rotinya. Maklum, akhir-akhir ini pekerjaannya terlihat begitu menumpuk sehingga ia harus selalu pergi lebih pagi dari sebagian besar orang rumah yang juga bermobilitas tinggi, dan pulang larut.

“Apa kabar Matahari?” Ia bertanya.

Aku hanya menjawab dengan sebuah anggukan kecil.

“Wah, jadi hari ini ya penentuannya? Well, you go get that girl my boy!” Dia menyorakiku, dan aku membalasnya dengan sebuah seringai lebar.

Ayahku memang pribadi yang amat menyenangkan. Dia teman curhatku yang paling sejati. Bisa dibilang, akibat semua ceritaku tentang Matahari padanya, dia telah mengenal Matahari sebaik aku mengenal gadis itu sendiri. Ayah beranjak dari kursinya, mengambil tasnya sambil berjalan ke arah garasi, dan berbalik, memberikan sebuah senyuman penuh arti sambil berkata,

“apapun jawabannya, ayah ingin jadi orang yang pertama tahu,ok?”

Kini waktu telah menunjukkan pukul delapan lewat lima belas menit. Seharusnya dia baru saja keluar kelas sekarang. Dengan tegang aku menunggu di salah satu meja Kantin Kerucut sambil menghitung mundur. Sepuluh... sembilan... delapan.... tujuh... enam... lima... empat... tiga... du... dia datang.

Dia mengenakan kaos oblong berwarna putih dan celana kargo berwarna hijau. Percaya padaku, bahkan bidadari dari kahyangan pun tidak dapat menyaingi kecantikan manusia yang satu ini.

“Halo macho, sudah puas melamun?” dia menggodaku.

Aku hanya memlemparkan seringai andalanku padanya sambil berkata,

“mau kemana kamu hari ini, Mata? I’ll be your driver for today, and you can go wherever you want.”

Ia membalas seringaiku dengan sebuah seringai yang tak kalah menyeramkan, lalu tersenyum dan menjawab,

“Siap!”

Akhirnya satu hari ini kami habiskan untuk bersenang-senang di Dunia Fantasi. Ia memberikan alasan yang sangat menarik tentang mengapa ia memilih Dufan sebagai tempat persinggahan kami hari ini.

“Kamu tahu kan akhir-akhir ini sering banget terdengar isu-isu tentang kasus Dufan, yang makan korban itu loh. Katanya, Tornado, wahana Dufan yang paling baru, makan korban. Dua puluh tiga orang meninggal gara-gara mesinnya Tornado rusak. Gila banget ya? Tapi kamu percaya ga sih sama yang namanya takdir? Aku percaya banget. Mau kita pasang fasilitas secanggih dan seaman Disneyland sekalipun, kalau memang takdirnya Tornado harus makan korban, ya pasti dia akan makan korban. Kita buktiin yuk. Kita ke Dufan sekarang, terus kita naik Tornado. Aku percaya kejadian seperti itu ga akan kejadian sampai dua kali berturut-turut. Kamu mau temenin aku ke Dufan kan?”

Ajaib benar memang orang ini.

Kami sudah tidak banyak bicara di dalam mobil. Dia terlihat kelelahan sekali, tapi lucunya sebuah senyum simpul masih tersungging di wajahnya. Dia terlihat senang sekali, dan aku pun senang melihatnya. Jantungku kembali berdetak keras, inilah saatnya. Saat tertepat untuk mengungkapkan semuanya. Aku menghela napas panjang, berdoa dalam hati dan melontarkan kalimat yang sudah sangat ingin kulontarkan sejak sembilan bulan yang lalu.

“Mata, aku sayang sama kamu”

Akhirnya kalimat itu pun terlontar juga, dan aku menunggu reaksi darinya. Gadis itu tertegun, menatapku tersenyum dan membalas,

“aku juga sayang sama kamu, sayang banget.”

Jantungku berdetak semakin keras, dan jemari tanganku basah oleh keringat. Haruskah kulanjutkan pernyataanku ini dengan sebuah kalimat penutup? Atau kuakhiri sampai di sini saja dan mencoba lagi di lain waktu? Aku sudah tak mampu menahan lagi, sehingga akhirnya kulontarkan kalimat

“Aku mau, dan siap jadi pacarmu”

Gadis itu kembali tertegun. Senyumnya perlahan hilang, digantikan oleh sebuah raut wajah cemas. Ia menggigiti kukunya, tanda bahwa ia sedang merasa amat tidak nyaman saat ini. Matanya memandangku penuh arti, seolah berusaha menghipnotisku untuk menarik kembali kata-kataku tadi. Namun semua sudah terlambat. Aku tak mungkin mundur lagi dan aku perlu untuk mendengar jawaban darinya.

Menit demi menit berlalu. Ia masih terdiam, dan aku masih belum berani membuka mulut sebelum mendengar jawaban darinya. Ia menghela napas, untuk yang kesekian kalinya, dan menjawab,

“maaf, aku tak bisa.”

Hatiku hancur seketika. Harapan bahwa gadis ini hanya akan menjadi milikku seorang mulai detik ini pupus sudah. Seolah delapan bulan yang kuhabiskan bersamanya menjadi sia-sia karena ternyata dia pun hanya menganggapmu tak lebih dari seorang teman. Namun, apapun yang terjadi, aku telah berjanji pada diriku sendiri bahwa aku akan bersikap tegar dihadapannya.

“Boleh aku bertanya? Kenapa tidak?” aku bertanya.

Berusaha menemukan alasan yang dapat kuterima dari gadis yang super logis ini. Sementara kakiku sudah terkulai lemas dan hati kecilku menutup telinganya rapat-rapat agar tidak perlu mendengar alasan yang hanya akan menoreh luka lebih lebar.

“Kita sangat cocok. Jujur, aku belum pernah merasa nyaman dengan seorang lelaki seperti ketika aku bersamamu. Kau begitu baik, begitu jujur, begitu simple. Dan aku sayang saya kamu, sayang sekali. Tapi untukku, cinta tidak hanya membutuhkan kecocokan dan rasa sayang. Cinta juga membutuhkan ketertarikan. Sesuatu yang bisa membuatmu selalu penasaran, selalu mencoba untuk ingin tahu, selalu mencari, dan mengulang semuanya kembali setiap kau bertemu dengannya. Aku mungkin memiliki sedikit ketertarikan padamu, dan kuyakin bisa berkembang seiring sengan jalannya waktu. Namun aku tak ingin waktu melakukan itu untukku, karena aku sudah menemukan ketertarikanku....padanya”

Mendengar semuanya, aku menjadi mengerti. Sangat mengerti. Ternyata ketika aku begitu sibuk mengaguminya, ia pun sedang melakukan hal yang sama. Tapi bukan padaku. Pada seseorang yang aku sama sekali tak tahu. Dan aku benar-benar ingin tahu siapa pria itu. Sesempurna apa dia sampai dapat membuat gadis ini tergila-gila padanya. Ingin rasanya aku bertanya padanya, namun hatiku telah terlanjur terluka. Aku tak mungkin mencecarnya dengan berbagai pertanyaan, itu tidak adil untuknya. Aku yakin dia pun sulit untuk mengatakan semua ini padaku, dan aku sangat menghargai kejujurannya.

“Kita masih berteman kan?” aku bertanya.

“Tentu saja. Aku tak mau jauh-jauh denganmu. Ingat, aku sayang kamu. Dan, mengenai pria itu, aku belum siap untuk mengatakannya padamu. Maaf ya.”

Tampaknya dia menyadari apa yang hendak benakku tanyakan padanya sehingga dia menjawab pertanyaan yang belum sempat kulontarkan tersebut.

“ya, ga papa” aku menjawab, berusaha untuk tersenyum.

kami telah sampai. Ia membuka pintu, mengecup pipiku, dan keluar dari mobil. Ingin rasanya aku menangis saat itu juga, tapi harga diriku yang terlalu tinggi tak mengenal air mata. Aku mengendarai mobilku, berniat untuk pulang. Namun, baru sekitar lima pulur meter aku bergerak dari depan rumah Matahari, sebuah mobil datang menghampiri rumah tersebut. Firasatku seolah berbisik, memintaku untuk menghentikan mobil dan menunggu. Aku yakin, dialah si pria yang ingin kutelan bulat-bulat sejak lima belas menit yang lalu. Matahari menghampiri mobil tersebut. Pria itu membuka pintu, keluar dari mobilnya. Matahari memeluknya, dan aku tak percaya dengan apa yang sedang aku lihat.

Wajah itu, tangan itu, tubuh itu begitu kukenal. Tak ada sebuah kata sifat pun yang dapat mendeskripsikan apa yang sedang kurasakan saat ini. Aku tak tahu lagi apa yang harus kulakukan. Aku mengumpulkan keberanian untuk mengambil handphoneku, menekan tombol speed dial, dan menunggu. Dari kejauhan terlihat pria itu mengangkat teleponnya. Aku berkata,

“Selamat ya ayah, aku orang yang pertama tahu.”

Salam Kenal

Salam kenal semuanya. Nama saya Mohammed Kamga, dan saya akan (mencoba) memulai  

aktifitas baru saya sebagai blogger mulai hari ini. Terlalu banyak ide-ide yang kelamaan 

ngendap di kepala. Terlalu banyak cerpen yang tidak sempat tertulis. Terlalu banyak kritik 

yang tak tersampaikan. Terlalu banyak pengalaman yang tidak terbagi. Dan yang paling parah, 

terlalu banyak waktu yang tdk tergunakan untuk menulis, padahal ini adalah passion kedua 

saya setelah musik. Jadi blog ini adalah jawaban saya atas penyakit nomer satu yang 

menjangkiti umat manusia bernama Kamga ini: malas. 

Mengutip spoken Justin Timberlake di lagu Senorita (dgn sedikit editan ilegal) 

"Lazyness, goodnite. Blogging, goodmorning"