Senin, 06 September 2010

Selamat Membaca: Telepon

Ada ide nyangkut di kepala, 
langsung tulis deh. 
Smoga menarik hasilnya 

Telepon

"Tuut.. Tuut.. Tuut.."

Untuk kesekian kalinya aku menekan nomor teleponmu, dan untuk kesekian kalinya juga nada tunggu ini tidak mengantarkanku kepada suaramu. Gerah aku mendengar operator jaringan yang terus mengulang informasi yang sudah pasti aku tahu. Dimana kamu Baskoro? Jangan siksa aku seperti ini. Sudah tidak tahan ku ingin membagi berita ini padamu. Kaulah yang berhak menjadi pelopor penerima berita ini. Aku tak tahan ingin berbagi. Terlalu berat aku tanggung berita ini sendiri. Aku tak kuat

Mengapa berita ini begitu buruk? Aku bukan gadis yang tegar. Menghadapi masalah-masalah sepele saja aku tak becus bersikap, apalagi ini. Sebuah berita duka yang begitu menyiksa. Aku memang memiliki sejarah buruk dalam menghadapi berita duka. Enam tahun yang lalu saat Ayah menghembuskan nafas terakhirnya, aku menangis meronta-ronta. Aku benci perpisahan. Apa yang mesti kulakukan saat aku rindu bila jarak aku dan orang yang kurindukan terlalu jauh bahkan tak tersentuh jaringan telepon? Berdoa saja tidak cukup. Aku perlu komunikasi dua arah. Aku perlu suara ayah. Butuh waktu lebih dari lima tahun untuk membiasakan diri tanpa ayah. Baru saja luka hatiku sembuh, dan tanpa ampun berita ini menyayat kembali hatiku.

Aku tak mau berpisah dengan ibu. Aku terlalu cinta padanya sampai-sampai pergi ke luar kota pun tak mau aku lebih dari seminggu. Biarlah bila manja ini terpelihara, karna aku mau terus bersamanya. Semua anak normal pasti mengerti perasaan ini. Cinta kepada ibu takkan ada duanya. Ikatan tali pusar mengikat terlalu kencang, tetap mengikat satu sama lain walau gunting sang bidan telah memutuskannya. Dan sekarang, lagi-lagi, Tuhan memaksakan kehendak. Dan tak ada lagi yang dapat kulakukan selain menangis, dan meneleponmu.

Ayo Baskoro, angkat teleponnya. Aku tak mau menangis sendiri. Aku mesti berbagi. Berbagi berita duka ini kepadamu. Aku mencintaimu, dan aku tak mau membagi berita ini kepada orang lain sebelum kamu. Aku tahu ini jam dua belas malam dan kamu pasti tengah lelap tertidur, tapi tolong tangkap bunyi telepon ini dengan telingamu dan terbangunlah, angkat teleponmu. 

"Tuut.. Tuut.. Tuut.."

Operator wanita ini kembali bicara, dan aku mulai putus asa. Kulihat ibu tengah terbaring di tempat tidurnya. Raut wajahnya begitu damai, tenang, bagai sedang bermimpi indah. Sejenak aku berpikir, apakah dengan menggoncangkan badannya aku bisa membangunkannya? Atau mengecup keningnya lembut akan membuka matanya perlahan-lahan? Semakin banyak ide bermunculan di kepala, semakin terbenam wajahku pada kedua telapak tangan ini. Aku terisak, air mata ini seolah tak akan berhenti tumpah sampai pagi menjelang, atau mungkin siang. Aku merana.

Aku merebahkan tubuhku, berbaring di atas tempat tidur ibu. Aku ingin menemaninya. Tidur sendirian di kasur sebesar ini pasti membuatnya kesepian. Dia pasti rindu ayah. Aku juga. Ini memang sudah sangat terlambat, tapi ijinkan aku menemanimu ibu. Seharusnya aku tidak sibuk dengan sedihku. Seharusnya aku memperhatikanmu. Seharusnya aku sadar bahwa bukan hanya aku yang tak bisa berhenti menangis sejak enam tahun lalu, tapi juga ibu. Maafkan aku ibu. Waktu adalah benda yang kejam, tidak mengenal kata kompromi. Bila waktu punya nurani, ia pasti akan memberikanku kesempatan untuk memperbaiki semuanya. Tapi waktu bagaikan palu hakim yang telah ditalukan. Keputusan tidak bisa diganggu gugat. Aku membentangkan tanganku, memeluk ibu erat. 

"Tuut.. Tuut.. Tuut.."

Mungkin takdir tidak mengijinkan Baskoro mengetahui berita ini sekarang. Mungkin takdir ingin dia tahu esok hari nanti. Mungkin takdir ingin aku menghadapi ini sendiri. Mungkin takdir ingin ibu tetap bersamaku sampai setidaknya esok pagi. Mungkin seribu mungkin, tapi satu hal yang pasti, ibu bukan milikku lagi. Kutekan nomormu sekali lagi Baskoro, semoga kau terbangun. Jika mesti operator yang kembali menjawabku, ya sudahlah. Maaf aku mengganggu mimpimu.

"Tuut.. Tuut.. Tuut.."

"Halo?"

Jantungku berdebar kencang. Akhirnya aku bisa mendengar suaramu. Akhirnya aku bisa berbagi. Begitu inginnya aku mendengar suaramu sampai-sampai malah jadi kelu lidahku. Aku terduduk lemas, mencoba mengatur nafas. Hati ini begitu siap bicara, namun bibir berkeras mengatup dinding mulutku. butuh beberapa detik untuk bisa memaksanya terbuka dan berkata,

"Baskoro... Meninggal.."

Bergidik aku mendengar kata meninggal. Demi Tuhan aku tidak siap mengatakan ini. Tak akan pernah siap.

"Kenapa Rani?  Tolong bicara lebih jelas lagi sayang, aku sulit mendengarmu"

"Meninggal Baskoro,, Meninggal"

Aku meraung sejadi-jadinya. Tuhan, jangan pisahkan aku dari ibu sekarang. Jangan paksa aku meneruskan kalimatku ini. Aku tak kuat ya Tuhan

"Apa aku tidak salah dengar sayang? Siapa yang meninggal? Masya Allah, jangan bilang ini tentang ibu"

Aku dapat mendengar Baskoro mulai terisak. Tak tega aku membagi berita ini padanya. Cintanya pada ibuku sedalam cintaku pada beliau. Tapi peluru kalimat telah terlempar, tak dapat kukembalikan lagi. Selamat tinggal ibu, begitu kalimat ini terucap, itu akan menjadi tanda kesiapanku berpisah denganmu. Kupandangi ibuku yang terbaring damai. Tubuhnya bergerak pelan, berbalik badan mencari posisi tidur yang lebih nyaman. Ia mendengkur kecil, dan aku tersenyum, siap berkata,

"Bukan ibu sayang, tapi aku. Aku meninggal. Jaga ibu ya.."

"Tuut,, Tuut,, Tuut,,"




4 komentar: