Minggu, 05 September 2010

Kebahagiaan dan Takarannya

saya benci melihat sinetron yang senang sekali asal-asalan memvisualisasikan orang miskin. Mereka seenak jidat menstereotip orang miskin ke dalam sebuah genre yang salah. Coba inget2 deh, setiap kita nonton sinetron, plot cerita orang miskin pasti sama. Muka sedih, sering nangis, rajin solat (yang ini sih bagus), berdoa pasrah, hidup tersiksa, sabar berlebihan, akhirnya kaya, bahagia, tamat. Apakah plot seperti ini menjual? Tentu banget. entah kenapa orang-orang Indo gemar sekali nonton cerita yang kayak gini. Semua orang ga mau dibilang lebay, tapi secara gak sadar seleranya lebay (kebanyakan yang gak mau ngaku selera nya lebay gak mau nonton sinetron, kyk saya. hehe). Nah, okelah kalau menjual, tapi apakah penggambaran seperti ini atas orang miskin adalah penggambaran yang tepat?

Coba kalau saya mendeskripsikan sebuah plot yang terjadi setiap hari di kota Jakarta. Jam 5 sore, jalanan di daerah Jakarta Selatan. Macet yang seolah gak ada ujungnya, diperparah dengan hujan deras ala Jakarta. Terlihat kendaraan-kendaraan bermotor berbaris rapi, pasrah akan keadaan yang harus mereka hadapi setiap hari pada jam yang sama. Mobil-mobil mewah pun tidak dapat melakukan apa-apa, pengendara dan penumpangnya hanya mampu pasrah menikmati AC yang dingin dan lagu-lagu barat dari CD player nya. Di luar terlihat anak-anak jalanan masih berusaha mengamen dan minta-minta, banyak anak-anak dibawah umur yang seharusnya sudah mengenyam pendidikan di TK tapi terpaksa bergabung dengan mereka, kehujanan karna kepentok biaya. Siapa yang seharusnya bahagia?

Para pengendara mobil mewah lah yang semestinya lebih bahagia. Memang macet belum ada obatnya, tapi mereka tetap bisa duduk nyaman tanpa kehujanan. Plus denger lagu lagi. Sementara anak-anak diluar sana masih cari uang untuk makan sambil ujan-ujanan, kedinginan, dan kena pilek malemnya nanti. Tapi coba kita lihat plot yang sering terjadi di situasi ini. Sang pengendara mobil menggerutu sambil melempar sumpah serapah ke supir Metromini yang tak tahu diri, mengumpat karena lelah menginjak gas dan rem, menyesali kenapa mereka mesti keluar jam segini, hingga menekan klakson seolah moral sudah meninggali jasadnya. Sementara anak-anak diluar sana kegirangan mandi hujan dan menikmati pertemanan yang mereka miliki. Mana yang lebih bahagia?

Mungkin banyak dari kalian yang sedang membaca ini bingung mengapa saya tidak memperhalus kata 'orang miskin', menggantinya dengan 'orang kurang mampu'. Saya punya satu alasan. Kata miskin berbeda dengan kata 'penipu', 'maling', dan 'rampok'. Tidak ada konotasi negatif dari kata 'miskin'. Miskin hanyalah ketidakberdayaan materi, dan sebenarnya apa sih materi? Materi tidak membuat seseorang menjadi lebih baik di mata Tuhan, materi adalah kesempatan yang diberikan Tuhan untuk manusia agar dapat berbuat baik, itu saja.

Kebahagiaan masing-masing orang memiliki takaran yang berbeda-beda. Seseorang belum tentu tidak bahagia hanya karena miskin, begitu pula sebaliknya. Seorang anak di panti asuhan hampir membuat saya menangis karena dia menjawab pertanyaan tentang duka apa saja yang dia rasakan selama berada di panti dengan jawaban,

"Duka nya itu kalau ada teman yang sudah lulus sekolah terus harus pulang. Sedih setiap ada perpisahan, nanti kangen tapi gak bisa ketemu lagi"

Makan seadanya, pendidikan seadanya, dan teknologi seadanya tidak membuat dia berduka. Perpisahan lah yang membuat dia berduka. Bandingkan dengan kita yang mengumpat saat macet padahal terlindung dari hujan, marah ketika mati lampu padahal kita tahu listrik pasti akan menyala kembali, dan kesal saat BBM lemot padahal tanpa BBM pun kita masih bisa berkomunikasi.

Jadi, masih percaya dengan miskin ala sinetron? :)

1 komentar:

  1. love this blog and love the way you write this story..
    realita banget yah..
    =)
    keep writing dude..
    semoga kemapanan ga lantas nutup mata kamu ya..
    =)
    -chichi-

    BalasHapus